Kamis, 23 April 2015

Information Literacy And Information Literacy Skills

Apa itu Literasi Informasi?
Literasi informasi sering disebut juga dengan keberaksaraan informasi atau kemelekan informasi. Dalam bidang ilmu perpustakaan dan informasi, literasi infromasi sering dikaitkan dengan kemampuan mengakses dan memanfaatkan secara benar informasi yang tersedia.
Pengertian literasi informasi yang sering dikutip adalah pengertian literasi informasi dari American Library Association (ALA) : “information literacy is a set of abilities requiring individuals to “recognize when information is needed and have the ability to locate, evaluate, and use effective needed information”.
Artinya, literasi informasi diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk mengidentifikasi informasi yang dibutuhkannya, mengakses dan menemukan informasi, mengevaluasi informasi, dan menggunakan informasi seara efektif dan etis. (dalam Naibaho, 2007: 7-8)
Informasi yang menjadi obyek disini dapat bersumber dari mana saja, baik dari media cetak seperti buku, majalah, jurnal, maupun sumber non cetak, seperti file dalam komputer, internet, film, hasil percakapan dan sebagainya. Information literacy berperan sebagai alat untuk memilah informasi-informasi tersebut, agar yang berguna dapat tetap dimanfaatkan secara maksismal dan sebaliknya, informasi ang hanya berpotensi menjadi sampah akan dapat difilter. Capaian yang diharapkan secara langsung adalah efisiensi dalam hal waktu, biaya dan tenaga yang dikeluarkan selama proses pencarian informasi.
Dalam perkembangannya, konsep information literacydiaplikasikan melalui saluran-saluran (channel) berupa kegiatan praktis, misalnya dalam kegiatan pendidikan pemakai perpustakaan, pembekalan bagi siswa maupun mahasiswa baru hingga kepentingan dunia bisnis, Meluasnya area yang membutuhkan kemampuan melek informasi mendorong banyak professional di bidang informasi dan perpustakaan untuk memulai menyusun berbagai formula pendekatan yang dapat mempermudah masyarakat menguasai kemampuan ini.
Kemampuan untuk menemukan informasi, mengolah dan menyajikan informasi sebenarnya kemampuan umum yang dimiliki oleh setiap orang. Tetapi tidak semua orang dapat dikatakan mempunyai kemampuan literasi informasi. Seseorang dikatakan mempunyai keterampilan literasi informasi mampu memahami kebutuhan informasi dan mendapatkan informasi yang tepat dalam berbagai format lalu mampu menggunakan dan menyajikan informasi tersebut dalam bentuk yang tepat dan benar. Dengan kemampuan ini seseorang memiliki kerangka kerja intelektual untuk memahami, mencari dan mengevaluasi dan menggunakan informasi.
Untuk mensikapinya ledekan informasi yang saat ini terus berkembang kita memerlukan sebuah strategi literasi yaituinformation literacy skills, yang dimaknai sebagai kemampuan untuk mengenali adanya kebutuhan informasi dan kemampuan untuk menempatkan, mengevaluasi, dan menggunakan informasi dengan efektif. Ada sejumlah elemen pendukunginformation literacy, yang juga berperan sebagai prasyarat untuk menguasai information literacy skill secara utuh. Elemen-elemen tersebut bersifat saling melengkapi dan tidak terpisahkan. Satu hal yang penting untuk digaris bawahi adalah bahwa upaya implementasi information literacy skill selalu membutuhkan saluran (Channel), yang dapat berupa kegiatan pembelajaran disekolah maupun di perguruan tinggi, kegiatan pendidikan pemakai di perpustakaan dan lain sebagainya. Hasil yang hendak dicapai dari penguasaan dan aplikasi information literacy skill ini adalah efisiensi biaya, waktu, dan tenaga yang dikeluarkan selama proses pencarian informasi.

Elemen-Elemen Information Literacy
Menggunakan informasi dalam berbagai bentuk menuntut sejumlah “kemampuan melek (literacies)”, diluar kemampuan dasar seperti menulis dan membaca. Berikut ini beberapa jenis “melek” yang berperan menjadi elemen dalam information literacy:

Visual Literacy
Visual Liteacy didefenisikan sebagai kemampuan untuk memahami dan menggunakan gambar, termasuk pula kemampuan untuk berpikir, belajar, serta mengekspresikan gambar tersebut. Visual literacy terbagi menjadi 3 konstruksi, yaitu :
• Pembelajaran visual (visual learning): kemampuan dalam mengakuisisi dan mengkonstruksi pengetahuan yang merupakan hasil interaksi dengan fenomena visual.
• Pemikiran visual (visual thinking): kemampuan untuk mengoraganisasikan citra mental pada hal-hal diseputar bentuk, garis, warna, teksur, dan komposisi
• Komunikasi visual (visual communication): kemampuan menggunakan symbol visual untuk mengekspresikan gagasan dan menyampaikan makna.

Media Literacy
Menurut National Leardship Conference on Media Literacy, Media Literacy adalah kemampuan warga Negara untuk mengakses, menganalisa, dan memproduksi informasi untuk hasil yang spesifik. Media mampu menyuntikkan nilai-nilai yang mampu mengubah pandangan, dan bahkan sikap hidup secara missal. Untuk itu masyarakat memerlukan keterampilan melek media agar mampu mensikapi keberadaan media dengan lebih kritis dan bijaksana.

Computer Literacy
Komputer merupakan alat yang dapat memfasilitasi dan memperluas kemampuan manusia dalam mempelajari dan memproses informasi. Contoh yang paling nyata adalah penggunaan komputer secara luas dalam dunia pendidikan. Sekarang ini dapat dikatakan bahwa komputer telah menjadi bagian integral dari pendidikan. Computer literacy sering diartikan sebagai kemampuan untuk menciptakan dan memanipulasi dokumen dan data menggunakan perangkat lunak pengolah kata, pangkalan data, dan sebagainya. Namun, The Computer Science and Telecommunication Board of the National Research Counsil mendefenisikan kembali computer literacy sebagai kemampuan dalam menguasai teknologi informasi

Digital Literacy
Digital Literacy merupakan keahlian yang berkaitan dengan penguasaan sumber dan perangkat digital. Perkembangan pesat teknologi informasi dewasa ini telah menghasilkan banyak temuan-temuan digital terbaru. Tidak jarang hal ini banyak memicu terjadinya kesenjangan antar masyarakat dan bahkan antar bangsa. Mereka yang mampu mengejar dan menguasai perangkat-perangkat digital muktahir dicitrakan sebagai penggenggam masa depan, dan sebalikna yang tertinggal akan semakin sempit kesempatannya untuk meraih kemajuan.

Network Literacy
Network literacy merupakan satu istilah yang masih terus berkembang (envolving). Untuk dapat menempatkan, mengakses dan menggunakan informasi dalam dunia berjejaring, misalnya internet, pengguna harus menguasai keahlian ini. Menurut Eisenberg (2004) orang yang melek jaringan memiliki sejumlah karakteristik sebagai berikut:
·         Memiliki kesadaran akan luasnya penggunaan jasa dan sumber informasi berjejaring
·         Memiliki pemahaman bagaimana sistem informasi berjejaring diciptakan dan dikelola
·         Dapat melakukan temu balik informasi tertentu dari jaringan dengan menggunakan serangkaian alat temu balik informasi
·         Dapat memanipulasi informasi berjejaring dengan memadukan dengan sumber lain dan meningkatkan nilai informasinya untuk kepentingan tertentu
·         Dapat menggunakan informasi berjejaring unutk menganalisa dan memecahkan masalah yang terkait dengan pengambilan keputusan, baik untuk kepentingan tugas dan maupun pribadi, serta menghasilkan layanan yang mampu meningkatkan kualitas hidup.
·         Memiliki pemahaman akan peran dan penggunaan informasi berjejaring untuk memecahkan masalah dan memperingan kegiatan dasar hidup.
Information literacy merupakan satu term yang bersifat inklusif. Dengan menguasainya maka sejumlah keahlian diatas dapat dicapai dengan lebih mudah. Hubungan antarainformation literacy dengan elemen-elemen adalah saling melengkapi dan tidak terpisahkan.
Selain elemen-elemen information Literacy diatas, Ada beberapa teori yang popular dalam perilaku seseorang dalam mencari informasi, Salah satu yang populer adalah Model pencarian yang dirumuskan David Ellis (1987)
Ellis membedakan model pencarian informasi untuk ilmuan bidang ilmu alam dan ilmu sosial. Model pencarian ilmuan bidang sosial ada 6 tahapan, yaitu:
1)      Starting (Mulai)
Pencari informasi mulai melakukan pencarian atau pengenalan awal terhadap rujukan. Seringkali informasi yang ditemukan pada tahap ini merupakan cikal bakal yang akan ditambahkan atau dikembangkan pada tahap selanjutnya
2)      Chaining (Menghubungkan)
Mengikuti mata rantai atau mengkaitkan dengan daftar pustaka yang ada. Mencari rujukan berdasarkan subjek, nama pengarang dan rujukan inti.
3)      Browsing (Menjelajah)
Tahapan yang ditandai dengan kegiatan pencarian informasi dengan cara penelusuran semi langsung atau terstruktur
4)      Differentiating (Pembedaan)
Merupakan kegiatan membedakan sumber informasi untuk menyaring informasi berdasarkan sifat dan kualitas rujukan
5)      Monitoring (Memantau)
Mengembangkan lebih lanjut pencarian informasi yang dibutuhkan dengan cara memberi perhatian yang lebih serius terhadap sumber-sumber tertentu
6)      Extracting (Mengambil Sari)
Pencarian informasi lebih bersifat sistematis, kegiatan ini diperlukan pada saat pencari informasi membuat suatu tinjauan literatur atau laporan

Selain Ellis, ada Perkembangan terkini, yaitu : Model Big6
Information literacy merupakan kunci untuk dapat hidup dan bertahan dalam abad ini. Untuk itu, sejumlah pendekatan telah dirumuskan oleh para pakar informasi, salah satu yang paling popular dan telah dikenal secara luas diselruh dunia adalah pendekatan Big6 yang dikembankan oleh dua pakar pendidikan Amerika, Michael Einsenberg dan Bob Berkowitz. Big6 adalah kurikulum dan model literasi informasi dan teknologi yang dapat digunakan banyak kalangan, terutama pendidikan dan bisnis. Ada beberapa akademis yang menyebut Big6 sebagai solusi pintar untuk pemecahan masalah informasi, karena dengan big6 siswa maupun mahasiswa dapat menyelesaikan semua masalah, tugas, dan membuat keputusan yang terkait dengan studi mereka dengan lebih baik.
Model Big6 mengintegrasikan keterampilan pencarian dan penggunaan informasi dengan penggunaan perangkat teknologi dalam proses menemukan, menggunakan, mengaplikasikan dan mengevaluasi informasi secara sistematis, untuk memenuhi kebutuhan dan tugas tertentu. Studi pada ribuan siswa yang diarahkan untuk menggunakan pendekatan Big6 dengan dikombinasikan dengan kegiatan analitis, kreatif, dan praktis, menunjukkan bahwa meraka mampu menampilkan performa belajar yang lebih baik dari pada mereka yang sama sekali tidak dibekali dengan Big6 (Jarvin dalam Eisenberg, 2006)
Berikut ini tahapan dari Big6:
ü  Defenisi Tugas (Task Defenition)
Tahap pertama dari proses pemecahan masalah Big6 adalah proses untuk mengenali adanya kebutuhan informasi(information need), mendefenisikan masalah, dan mengidentifikasi masalah dan mengidentifikasi tipe dan jumlah informasi yang dibutuhkan
Strategi penemuan informasi (information Seeking Strategis)
Ketika masalah informasi telah diformulasikan, maka pengguna harus mulai mempertimbangkan sumber-sumber informasi yang akan digunakan dan mengembangkan rencana perncarian informasi berikut dengan metode dan saluran (channel) yang digunakan.
ü  Lokasi dan akses (location and access)
Setelah pengguna menentukan prioritas penemuan informasi, mereka mulai memetakan informasi dari beragam sumber dan mengakses informasi tertentu yang ditemukan dalam sumber-sumber yang berdiri sendiri
ü  Pengguna Informasi (use of information)
Dalam taha ini pengguna harus bersentuhan dengan informasi yang telah ditemukan dalam tahapan ketiga, baik melalu aktivitas membaca, melihat maupun mendengar, untuk kemudian dinilai relevansinya dengan tujuan pencarian. Pengguna disini juga harus mengekstrasi informasi yang dianggapnya telah relevan
ü  Sintesis informasi (synthesis)
Dalam tahap sintesis informasi, pengguna mulai mengorganisasikan dan mengkomunikasikan hasil yang telah diperolehnya dengan orang lain disekitarnya. Rekan diskusi dapat saja teman sejawat, pustakawan, dosen maupun siapa saja yang dipandang menguasai subyek informasi yang dicari(knowledge person)
ü  Evaluasi (Evaluation)
Proses evaluasi berfokus pada bagaimana produk final dapat menjawab kebutuhan tugas pengguna (efektif) dan bagaimana pengguna tersebut dapat mengimplementasikan upaya pemecahan masalah (efisien)
Terciptanya sebuah model pencarian informasi biasanya dipengaruhi oleh faktor kognitif dan fisik seseorang ketika seseorang menelusur informasi. Penerapan sebuah model dalam pencarian informasi tidak menjamin seseorang untuk dapat menemukan informasi yang sesuai dengan tepat. Keberhasilan seseorang dalam menemukan informasi yang sesuai dengan kebutuhan akan berbeda untuk masing-masing individu.
Oleh karena itu information literacy skill adalah suatu hal yang sangat diperlu dimiliki oleh seseorang dalam menelusur informasi. Keberhasilan dalam pencapaian information literacy pada kalangan professional informasi dan masyarakat pengguna membutuhkan usaha yang keras dengan konsistensi yang terus menerus, serta dukungan dari pihak-pihak yang berkepentingan.


E - Commerce

Definisi E-Commerce menurut Laudon & Laudon (1998), E-Commerce adalah suatu proses membeli dan menjual produk-produk secara elektronik oleh konsumen dan dari perusahaan ke perusahaan dengan computer sebagai perantara transaksi bisnis.
E-Commerce atau yang biasa disebut juga dengan istilah Ecom atau Emmerce atau EC merupakan pertukaran bisnis yang rutin dengan menggunakan transmisi Electronic Data Interchange (EDI), email, electronic bulletin boards, mesin faksimili, dan Electronic Funds Transfer yang berkenaan dengan transaksi-transaksi belanja di Internet shopping,
Stock online dan surat obligasi, download dan penjualan software, dokumen, grafik, musik, dan lain-lainnya, serta transaksi Business to Business (B2B). (Wahana Komputer Semarang 2002).
Sedangkan definisi E-Commerce menurut David Baum (1999, pp. 36-34) yaitu: E-Commerce is a dynamic set of technologies, applications, and bussines process that link enterprises, consumers, and communities through electronics transactions and the electronic exchange of goods, services, and informations.
Diterjemahkan oleh Onno. W. Purbo: E-Commerce merupakan satu set dinamis teknologi, aplikasi, dan proses bisnis yang menghubungkan perusahaan, konsumen, dan komunitas tertentu melalui transaksi elektronik dan perdagangan barang, pelavanan, dan informasi yang dilakukan secara elektronik.

Definisi dari E-Commerce menurut Kalakota dan Whinston (1997) dapat ditinjau dalam 3 perspektif berikut:
Dari perspektif komunikasi, E-Commerce adalah pengiriman barang, layanan, informasi, atau pembayaran melalui jaringan komputer atau melalui peralatan elektronik lainnya.
Dari perspektif proses bisnis, E-Commerce adalah aplikasi dari teknologi yang
menuju otomatisasi dari transaksi bisnis dan aliran kerja.
Dari perspektif layanan, E-Commerce merupakan suatu alat yang memenuhi keinginan perusahaan, konsumen, dan manajemen untuk memangkas biaya layanan (service cost) ketika meningkatkan kualitas barang dan meningkatkan kecepatan layanan pengiriman.
Dari perspektif online, E-Commerce menyediakan kemampuan untuk membeli dan menjual barang ataupun informasi melalui internet dan sarana online lainnya.

Jenis-jenis E-Commerce
Kegiatan E-Commerce mencakup banyak hal, untuk membedakannya E-Commerce dibedakan menjadi 2 berdasarkan karakteristiknya:
Business to Business, karakteristiknya:
• Trading partners yang sudah saling mengetahui dan antara mereka sudah terjalin hubungan yang berlangsung cukup lama.
• Pertukaran data dilakukan secara berulang-ulang dan berkala dengan format data yang telah disepakati bersama.
• Salah satu pelaku tidak harus menunggu rekan mereka lainnya untuk mengirimkan data.
• Model yang umum digunakan adalah peer to peer, di mana processing intelligence dapat didistribusikan di kedua pelaku bisnis.

Business to Consumer, karakteristiknya:

• Terbuka untuk umum, di mana informasi disebarkan secra umum pula.
• Servis yang digunakan juga bersifat umum, sehingga dapat digunakan oleh orang banyak.
• Servis yang digunakan berdasarkan permintaan.
• Sering dilakukan sistim pendekatan client-server. (Onno W. Purbo & Aang Arif. W; Mengenal E-Commerce, hal 4-5)

Tujuan Menggunakan E-Commerce dalam Dunia Bisnis
Tujuan suatu perusahaan menggunakan sistim E-Commerce adalah dengan menggunakan E-Commerce maka perusahaan dapat lebih efisien dan efektif dalam meningkatkan keuntungannya.

Mantaat Menggunakan E-Commerce dalam Dunia Bisnis
Manfaat dalam menggunakan E-Commerce dalam suatu perusahaan sebagai sistem transaksi adalah:
Dapat meningkatkan market exposure (pangsa pasar).
Transaksi on-line yang membuat semua orang di seluruh dunia dapat memesan dan membeli produk yang dijual hanya dengan melalui media computer dan tidak terbatas jarak dan waktu.
Menurunkan biaya operasional (operating cost).
Transaksi E-Commerce adalah transaksi yang sebagian besar operasionalnya diprogram di dalam komputer sehingga biaya-biaya seperti showroom, bebangaji yang berlebihan, dan lain-lain tidak perlu terjadi
Melebarkan jangkauan (global reach).
Transaksi on-line yang dapat diakses oleh semua orang di dunia tidak terbatas tempat dan waktu karena semua orang dapat mengaksesnya hanya dengan menggunakan media perantara komputer.
d. Meningkatkan customer loyalty.
Ini disebabkan karena sistem transaksi E-Commerce menyediakan informasi secara lengkap dan informasi tersebut dapat diakses setiap waktu selain itu dalam hal pembelian juga dapat dilakukan setiap waktu bahkan konsumen dapat memilih sendiri produk yang dia inginkan.
Meningkatkan supply management.
Transaksi E-Commerce menyebabkan pengefisienan biaya operasional pada perusahaan terutama pada jumlah karyawan dan jumlah stok barang yang tersedia sehingga untuk lebih menyempurnakan pengefisienan biaya tersebut maka sistem supply management yang baik harus ditingkatkan.
Memperpendek waktu produksi.
Pada suatu perusahaan yang terdiri dari berbagai divisi atau sebuah distributor di mana dalam pemesanan bahan baku atau produk yang akan dijual apabila kehabisan barang dapat memesannya setiap waktu karena on-line serta akan lebih cepat dan teratur karena semuanya secara langsung terprogram dalam komputer.
Pernyataan-pernyataan Onno W. Purbo di atas juga didukung oleh permyataan Laura Mannisto (International Telecommunication Union, Asia and the Future of the World Economic System, 18 March 1999, London), yaitu:
Ketersediaan informasi yang lebih banyak dan mudah diakses Ketersediaan informasi produksi dan harga dapat diakses oleh pembeli, penjual, produsen dan distributor.
Globalisasi Produksi, distribusi dan layanan konsumen : jarak dan waktu relatif lebih pendek, sehingga perusahaan dapat berhubungan dengan rekan bisnis di lain negara dan melayani konsumen lebih cepat. Produsen dapat memilih tempat untuk memproduksi dan melayani konsumen tidak tergantung dimana konsumen itu berada. Perusahaan yang berada di negara berpendapatan rendah dapat mengakses informasi dan membuat kontak bisnis tanpa harus mengeluarkan biaya tinggi.
Mengurangi biaya transaksi dengan adanya system order, pembayaran dan logistik secara online dan otomatis.

Ancaman Menggunakan E-Commerce (Threats)
Threats merupakan kemungkinan-kemungkinan munculnya kejadian yang dapat membahayakan asset-aset yang berharga.
Ada beberapa bentuk ancaman yang mungkin terjadi:
• System Penetration
Orang-orang yang tidak berhak melakukan akses ke system computer dapat dan diperbolehkan melakukan segala sesuatu sesuai dengan keinginannya.
• Authorization Violation
Pelanggaran atau penyalahgunaan wewenang legal yang dimiliki seseorang yang berhak mengakses sebuah sistim.
• Planting
Memasukan sesuatu ke dalam sebuah system yang dianggap legal tetapi belum tentu legal di masa yang akan datang.
• Communications Monitoring
Seseorang dapat mernantau semua infonnasi rahasia dengan melakukan monitoring komunikasi sederhana di sebuah tempat pada jaringan komunikasi.
• Communications Tampering
Segala hal yang membahayakan kerahasiaan informasi seseorang tanpa melakukan penetrasi, seperti mengubah infonnasi transaksi di tengah jalan atau membuat sistim server palsu yang dapat menipu banyak orang untuk memberikan infonnasi rahasia mereka secara sukarela.
• Denial of service
Menghalangi seseorang dalam mengakses informasi, sumber, dan fasilitas-fasilitas lainnya.
• Repudiation
Penolakan terhadap sebuah aktivitas transaksi atau sebuah komunikasi baik secara sengaja maupun tidak disengaja.



Digital Divide Dan Knowladge Divide

Kesenjangan digital atau Digital Divide adalah sebuah fenomena dimana seseorang masih kurang akses terhadap teknologi yang berkaitan dengan informasi dan komunikasi. Gap terhadap dunia Tenologi Informasi dan Komunikasi ini bisa saja masih terjadi di dalam kehidupan dan dalam berbagai aspek kehidupan. Kebanyakan masyarakat masih merasa teknologi yang berkembang sangat pesat hingga sangat sulit rasanya bila mengikuti perkembangannya, apalagi dalam beberapa negara di dunia termasuk Indonesia, penyebaran dari Teknologi Informasi dan Komunikasi masih kurang merata, hal tersebut juga disebabkan karena kurangnya sosialisasi kepada masyarakat atau memang faktor ekonomi dari masyarakat itu sendiri.

Menurut seorang pengamat, Yayan Sopyan pada sebuah artikel dalam web pribadinya, dia menjelaskan apa itu kesenjangan digital. "Berbicara mengenai kesenjangan digital berarti berbicara mengenai gap antara kelompok masyarakat yang bisa menikmati teknologi digital -sebagai alat untuk bekerja, berkreasi, berkreativitas, dan lain sebagainya- dan menikmati keuntungan-keuntuingan yang diberikan oleh teknologi digital, dan kelompok masyarakat yang sama sekali tidak mencicipi itu. Itulah yang disebut kesenjangan digital." Yayan Sopyan pada web pribadinya yang di post pada, Senin, 08 April 2002 07:00.

Kesenjangan Digital tidak hanya dapat dibuktikan dengan kurangnya pemahaman terhadap teknologi secara mendasar seperti contohnya seseorang yang takut menggunakan laptop atau komputer karena takut rusak karena harganya yang masih terhitung mahal oleh sebagian orang yang terjebak dalam fenomena kesenjangan digital. Hal lain yang bisa dikatakan kesenjangan digital adalah kurang pahamnya penggunaan dari sarana sosial media, bila ada sebagian orang yang takut menggunakan komputer karena berbagai alasan, sebagian lainnya juga diisi oleh mereka yang masih menggunakan jaringan internet atau media sosial secara tidak maksimal sehingga mereka tidak secara mendasar memahami apa guna dari TIK itu sendiri.

Faktor Penyebab Kesenjangan Digital

Hal ini bisa terjadi karena berbagai hal. Jan Van Dijk dari Utrecth University membagi faktor penentu mengapa terjadi kesenjangan digital, yakni:

1. Kurangnya pengalaman digital dasar yang diakibatkan oleh kurangnya minat, kecemasan terhadap komputer dan tidak memperbaruhi minat terhadap teknologi baru (akses mental)
2. Tidak memiliki komputer dan jaringan internet (akses bahan )
3. Kurangnya keterampilan digital karena pendidikan tidak cukup, dan tidak pula didukung oleh lingkungan sosialnya (keterampilan akses)
4. Kurangnya kesempatan penggunaan yang signifikan atau distribusi TIK yang tidak merata (akses penggunaan).

Dalam blog bppn juga dijelaskan hal yang sama, dalam blog tersebut dijelaskan bahwa ada empat faktor yang enjadi penyebab terjadinya kesenjangan digital yakni: Infrastruktur, kekurangan skill (SDM), kekurangan isi atau materi (konten), kurangnya pemanfaatan dari internet itu sendiri. 

Dari keterangan diatas, dapat diketahui bahwa kesenjangan digital juga sempat terjadi di Amerika Serikat dan Eropa pada tahun 1990-an, hal tersebut dikarenakan beberapa faktor yang dikatakan diatas. Faktor penentu utama dalam hal ini adalah kurangnya pemahaman dan kurang meratanya ekonomi dan sosialisasi dari pemerintah dan pihak yang setidaknya melakukan inisiatif dalam hal ini. Sementara bagaimana dengan Kesenjangan Digital di Indonesia? di Indonesia jelas masih terasa kesenjangan digital yang cukup lebar antara masyarakat dengan perkembangan digital yang ada. Mari kita mulai analisis Kesenjangan Digital di Indonesia dari faktor: 

1. Infrastruktur

Infrastruktur adalah hal pentin dalam memenuhi sarana teknologi, sarana disini bisa dimasukan dalam poin-poin khusus seperti tersedianya jaringan listrik yang baik di suatu daerah, jaringan telekomunikasi yang baik yang jadi penentu apakah jaringan internet dapat tersambung dengan baik di suatu daerah. Selain itu faktor infrastruktur ini juga bisa menyangkut perangkat keras dan lunak (program) dari sebuah piranti digital seperti komputer, smartphone dan lain sebagainya. 
Infrastruktur lain juga mempengaruhi beberapa aspek seperti salah satunya pendidikan. Infrastruktur TIK dalam dunia pendidikan yang tidak merata sebaiknya diperbaiki sehingga terjadi pembenahan kesenjangan digital sejak dini. Dana pembangunan dalam dunia pendidikan yang tidak teratur mengakibatkan masih ada saja sekolah yang tidak memiliki sarana lab komputer dan akses internet, bila masih banyak hal seperti itu terjadi di daerah, bagaimana kesenjangan digital akan menipis dimasa depan. Jangankan Lab, gedung sekolah yang terancam rubuh saja masih banyak dan tersebar di berbagai daerah. 

2. Kekurangan Skill SDM

Kekurangan Skill SDM disini bisa dikatakan sebagai minat dan kemampuan dari seseorang untuk menggunakan sarana digital. Masih banyak masyarakat yang merasa gugup, takut sehingga enggan menggunakan sarana digital seperti komputer atau laptop. Sebagian mereka masih tidak ingin menanggung resiko kerusakan dari sarana digital yang tergolong mahal sehingga bila rusak tentunya akan menghabiskan uang yang banyak pula bila rusak. 
Bila diperhatikan lebih dalam lagi berarti hal yang mempengaruhi skill SDM dalam menggunakan sarana digital bisa datang dari kesenjangan ekonomi dan kurangnya sosialisasi atau pemberian pemahaman kepada masyarakat tentang penggunaan sarana digital.

3. Kekurangan Isi Konten

Kekurangan konten yang paling terbaca disini adalah masih banyaknya masyarakat dengan penggunaan konten di sebuah sarana digital. Hal yang menjadi poin utama dalam permasalahan konten ini adalah kurangnya konten bahasa Indonesia dalam softwere digital yang ada. Mungkin di daerah yang masih berdekatan dengan kota-kota besar sudah banyak masyarakat yang memahami bahasa Inggris sehingga tahu bagaimana cara menggunakan aplikasi dalam sarana digital tertentu, tetapi bagaimana kabar dari saudara-saudara kita di daerah seperti yang disebutkan diatas, mereka yang masih belum memiliki jaringan Internet, bahkan listrik. Apakah mereka bisa paham menggunakan sarana digital yang di dominasi oleh perangkat berbahasa asing (Inggris).

4. Kekurangan dalam Penggunaan Internet Sendiri

Kesenjangan Digital ternyata tidak hanya berbicara mengenai sarana dan skill. Tetapi penggunaan Sarana digital dengan lebih bijaksana dan memberikan manfaat yang lebih besar untuk kesejahteraan informasi pada masyarakat. Internet dan jaringan Telekomunikasi saat ini bukan hanya untuk menghubungkan antara satu orang dengan kerabat di tempat yang jauh atau game online. Tetapi kemampuan digital saat ini juga bisa untuk mengakses informasi mengenai hal terkini dan memberikan banyak informasi yang sifatnya memberikan edukasi kepada khalayak. Sarana digital akan sangat berguna dan bermanfaat bagi masyarakat bila mereka peham dan mengerti tentang penggunaanya.

Bila diperhatikan saat ini sudah banyak memang mereka yang menggunakan sarana TIK untuk melakukan berbagai hal, namun banyak pula diantaranya masih terlihat keganjilan-kegajilan seperti contoh kasusnya adalah banyak sekali saat ini akan-anak yang berhasil mengerti cara menggunakan komputer dan penggunaan internet dan hubungan jaringan LAN dengan pahamnya mereka menggunakan jejaring sosial dan  bermain game online, tetapi, hanya itu yang bisa mereka lakukan, sementara untuk pemanfaatan lain masih belum bisa diperhitungkan.

Langkah Untuk Mempekecil Jarak Kesenjangan Digital

Dari berbagai faktor yang mempengaruhi terjadinya kesenjangan digital dapat diketahui bahwa saat ini masyarakat masih butuh bimbingan dari pemerintah dan berbagai pihak yang merasa bertanggung jawab. Pemerataan dari setiap daerah seharusnya semakin di tingkatkan sehingga tidak ada lagi ketimpangan yang nantinya akan memperbesar jarak dari kesenjangan digital di Indonesia. Sarana harus semakin ditingkatkan dan sama rata antara kota dengan daerah, seperti listrik dan jaringan telekomunikasi, dengan demikian salah satu faktor dari penyebab kesenjangan sosial sudah bisa diselesaikan, yaitu faktor infrastruktur.
Masyarakat masih mebutuhkan bantuan dalam hal ini adalah pengenalan terhadap dunia digital. Sehingga tidak ada lagi diantara meraka yang masih menyalah gunakan sarana digital untuk melakukan berbagai hal yang merusak moral. Penyuluha dan pemahaman kepada masyarakat adalah hal penting untuk membentuk masyarakat yang lebih bijak dalam menggunakan sarana digital di masa depan.


Knowledge Divide ..??

Kesenjangan Ilmu Pengetahuan dalam Perspektif Kognisi Informasi
Isu kesenjangan ilmu pengetahuan selalu berkaitan dengan struktur kognisi masyarakat di suatu wilayah. Keadaan tersebut memicu sisi pandang kognitif cognitive viewpoint yang beragam dari masyarakat dalam kaitannya dengan pemrosesan informasi. Seperti diutarakan oleh M. De Mey (1977) dalam Pendit (2006), pemrosesan informasi selalu diikuti oleh pengkategorian dan pengenaan konsep yang pada hakikatnya merupakan model/tiruan tentang dunia sekeliling. Model ini nantinya akan menghasilkan struktur pengetahuan atau struktur kognisi yang berkembang di masyarakat. (Pendit, 2006: 24).Informasi yang diterima masyarakat memiliki perbedaan dan keragaman intrepretasi (misrepresentasi). Penyebab utama misrepresentasi tersebut dapat disebabkan oleh penerapan Knowledge Management System (KMS) yang tidak efektif. KMS merupakan sistem yang mengakomodir suatu pengetahuan masyarakat dalam sebuah organisasi, lembaga, atau negara. Chinho Lin (2005) mengemukakan bahwa KMS sangat memengaruhi kesenjangan ilmu pengetahuan (knowlege gap) masyarakat. Menurut Lin, teradapat empat aspek kesenjangan yang sering muncul pada sebuah organisasi, lembaga, atau negara yang diistilahkan sebagai knowledge-gap framework. Keempat aspek kesenjangan ilmu pengetahuan tersebut adalah; strategic aspect (strategi), implementation aspect(implementaasi), plan aspect (perencanaan)dan perception aspect (persepsi).
Tulisan ini mengulas tiga artikel yang memberikan data dan fakta seputar kesenjangan ilmu pengetahuan dari keempat aspek di atas. Pertama, artikel mengenai kesenjangan ilmu pengetahuan pada masyarakat marjinal. Artikel yang diulas pada tulisan ini diambil dari Jurnal Al-Maktabah Vol.4 dengan berjudul “Kemiskinan Informasi pada Masyarakat Marjinal di Indonesia” yang ditulis oleh Laksmi (2004). Kedua, artikel yang mambahas tentang kesenjangan pengetahuan dalam bayang sejarah. Pembahasan kedua dilakukan dengan menganalisa sebuah artikel dari Harian Kompas yang berjudul “Dokumen Penting Terbengkalai Terkait Rendahnya Kesadaran Sejarah.”
Ketiga, analisa mengenai kesenjangan ilmu pengetahuan dan warisan budaya lisan. Analisa dilakukan berdasarkan artikel yang ditulis Sapto Raharjo (2003) yang berjudul, “Kesenjangan Antargenerasi dalam Pemahaman Budaya: Upaya Menjembatani Kesenjangan Melalui Siaran Radio Etnik”. Keseluruhan artikel tersebut diulas berdasarkan pendekatan isu kesenjangan ilmu pengetahuan di masyarakat. Ulasan dimulai dari sisi pandang kognitif masyarakat yang kemudian dikaitkan dengan aspek kesenjangan ilmu pengetahuan sebagai benang merah dari ketiga artikel.

Kesenjangan Ilmu Pengetahuan pada Masyarakat Marjinal
Katerkaitan antara struktur kognisi dan kesenjangan ilmu pengetahuan akan memunculkan dinamika beragam yang berakibat pada persolan kemiskinan informasi dan kesadaran informasi masyarakat. Tulisan Laksmi dalam Jurnal Al-Maktabah Vol.4 yang berjudul“Kemiskinan Informasi pada Masyarakat Marjinal di Indonesia” menjelaskan bagaimana kebutuhan informasi masyarakat Indonesia belum sepenuhnya terpenuhi. Dijelaskan Laksmi, salah satu faktor kemiskinan informasi tersebut memaksa masyarakat untuk selalu bergantung pada bantuan pemerintah atau orang lain. (Laksmi, 2004: 93).
Tulisan tersebut menitikberatkan pada ketersediaan informasi pada masyarakat marjinal di Indonesia. Fokus utama adalah pada kesadaran pentingnya pembangunan masyarakt informasi. Situasi yang dijelaksan Laksmi di atas memberikan kerangka penyebaran informasi melalui model yang secara langsung menjembatani kesenjangan (gap) informasi di masyarakat. Artinya, proses penyebaran informasi yang sampai pada masyarkat memiliki keterkaitan dengan pembentukan artian (meaning), bukan hanya sebagai manipulasi simbol semata. Hal ini seirama dengan pendapat Brookes, Belkin, dan Wersing – yang mengembangkan pandangan De Mey – tentang teori cognitive viewpoint. Pendapat Brookes, Belkin, dan Wersing menekankan pada kondisi kognitif perorangan (individual cognitive states) yang menjadi dasar kesadaran informasi masyarakat.
Telaah Laksmi di atas juga menemukan berberapa knowledge gap yang diakibatkan kondisi kognitif perorangan (individu) dalam masyarakat marjinal yang – seolah-olah – jauh dari jangkauan ilmu pengetahuan. Dari data yang ditemukan, terlihat beberapa aspek strategi dan aspek perencanaan penyebaran informasi yang cenderung memperlihatkan kesenjangan. Hal itu bisa dilihat pada beberapa temuan Laksmi dalam bidang pendidikan, ekonomi, dan kesehatan.
Temuan Laksmi tersebut mengindikasikan kesesuaian informasi yang diterima masyarakat dan ilmu pengetahuan yang dimiliki masyarakat. Secara sederhana dapat diartikan bahwa penggunaan teknik diseminasi informasi seharusnya sesuai dengan kondisi struktur kognisi masyarakat marjinal. Salah satu faktor yang harus diperhatikan dalam proses diseminasi informasi adalah kondisi struktur kognisi masyarakat. Struktur kognisi tersebut dapat dilihat dari segi pendidikan, budaya, gaya hidup, dan sebagainya. Jika ditinjau dari segi socio cognitive, temuan Laksmi jelas memberikan wacana perkembangan teknologi yang jauh lebih cepat berkembang daripada kemampuan kognisi masyarakat. Keadaan demikian akan memunculkan fenomena baru berupa degradasi informasi, yaitu penafsiran informasi yang sampai kepada masyarakat tidak diterima secara utuh dan bahkan salah. Jika hal tersebut tetap dibiarkan, kesenjangan ilmu pengetahuan diantara masyarakat akan terus dan akan semakin kompleks.
Secara tidak langsung, dalam tulisan tersebut juga menyiratkan misrepresentasi antara masyarakat, pemerintah, dan pekerja informasi – terutama media masa. Bentuk misrepresentasi tersebut dapat berupa eksklusi maupun marjinalisasi. Bentuk eksklusi merupakan misrepresentasi yang menggambarkan seseorang, suatu kelompok atau gagasan tertentu, namun dikucilkan dalam pembicaraan. Mereka dibicarakan dan diajak bicara, tapi mereka dipandang sebagai buruk dan bukan bagian dari kita. Dalam kasus masyarakat marjinal, Laksmi memberikan contoh kekurangan informasi dari berbagai aspek (kesehatan, pendidikan, dan ekonomi). Bentuk misrepresentasi eksklusi terjadi ketika pemerintah melakukan sosialisasi program kesehatan, pemerintah kurang melakukan pendekatan terhadap aspek kognitif masyarakat marjinal yang lebih cenderung ‘nyaman’ dengan praktek perdukunan. Secara langsung, pola tersebut membuat perdukunan dipandang tidak ilmiah dibandingkan ilmu kedokteran. Keadaan ini memicu kesenjangan informasi di masyarakat.
Kedua, misrepresentasi dalam bentuk marjinalisasi, yaitu menggambarkan pihak lain sebagai buruk, tanpa memilah pihak ‘kita’ dan mereka. Sudah menjadi tradisi masyarakat marjinal untuk menyandarkan kebutuhan kesehatan, pendidikan, dan sebagainya kepada tokoh masyarakat. Dengan demikian, model komunikasi juga diharuskan sesuai kultur masyarakat tersebut. Tidak mungkin digeneralisasikan dalam sebuah model yang bersifat global – yang pada akhirnya memunculkan kesenjangan-kesenjangan baru.

Kesenjangan Pengetahuan dalam Bayangan Sejarah
Lebih lanjut mengenai kesenjangan ilmu pengetahuan dan cognitive viewpoint masyarakat, sebuah artikel yang dimuat di Kompas, “Dokumen Penting Terbengkalai Terkait Rendahnya Kesadaran Sejarah” merupakan wujud nyata (representasi) kesenjangan ilmu pengatahuan di kalangan masyarakat. Artikel tersebut mengungkap pendapat ahli sejarah mengenai kesadaran masyarakat terhadap dokumen kesejarahan. Persoalan sejarah selalu berkaitan dengan sumber sejarah, baik berbentuk tulisan maupun lisan. Masyarakat Indonesia, menurut pandangan sejarahwan Anhar Gonggong dan Asvi Warman Adam, masih belum memiliki kesadaran tentang arti penting sejarah. Seperti contoh dokumen pemerintahan yang berhubungan dengan pemilu. Hal tersebut dapat dibuktikan melalui lembaga pemerintahan seperti Panitia Pengawas Pemilu yang tidak memiliki dokumen pengawasan pemilu sejak tahun 1982-1997. Selanjutnya, Anhar Gonggong juga menyatakan bahwa masyarakat Indonesia lebih menyukai sejarah lisan – terutama cerita tentang individu. Keadaan inilah yang menyebabkan perhatian terhadap teks-teks sejarah kurang mendapat penghargaan.
Realita kesadaran informasi kesejarahan di atas, dalam kajian teori kognitif informasi, dapat dilihat dari sisi cognitve style dari masyarakat. Secara terperinci G. Pask dan timnya mengemukakan bahwa terdapat dua gaya kesadaran informasi masyarakat pada umumnya.Pertama, gaya holist yang mengaitkan berbagai topik sejak penerimaan informasi, yang tentunya diketahui dan dipelajari melalui dokumen-dokumen yang berkaitan – terutama kesejarahan. Dalam konteks kesejarahan suatu bangsa dan negara, seharusnya dokumen yang bersifat strategis harus dilestarikan. Tujuannya adalah untuk dasar pengambilan kebijakan kenegaraan yang menentukan arah perjalanan suatu bangsa. Anhar Gonggong mengistilahkan, “Dokumen berfungsi pula untuk memperpanjang ingatan bangsa..” Selain itu, penyimpanan dokumen tidak harus melulu pada Pusat Arsip, Depo Arsip, dan sebagainya. Melainkan juga harus disimpan di masing-masing lembaga penting, misalnya KPU, kementerian-kementerian, dan sebagainya.
Kedua, gaya serialist yang cenderung menggunakan pendekatan lokal dan berkonsentrasi pada berbagai topik secara terpisah terlebih dahulu. Jika pada bagian pertama, sejarahwan Anhar Gonggong menyampaikan isu sejarah kebangsaan yang menghadapi dilema kesadaran pendokumentasian, pada bagian kedua dipertajam dengan pendapat sejarahwan Asvi Warman Adam yang ‘kesal’ dengan akal-akalan dalam pendidikan sejarah puluhan tahun belakangan ini. Artinya, selama era Orde Baru, kultus kesejarahan bangsa sengaja disampaikan dengan mengusung individu. Keadaan inilah yang menyebabkan bukti-bukti sejarah semakin terpinggirkan. Tidak hanya artefak, naskah, bahkan bangunan bersejarahpun mulai terabaikan. Asvi menegaskan jika kunci sejarah itu hilang, masa lalu bangsa akan tetap gelap. Tidak menutup kemungkinan keadaan tersebut akan menimbulkan kesenjangan ilmu pengetahuan pada masyarakat – yang diboncengi hal-hal yang seolah-olah memecah kebenaran sejarah melalui propaganda dokumen-dokumen kesejarahan. Akibatnya, terjadichaos dalam konstruksi kognisi masyarakat sehingga menimbulkan misrepresentasi dalam bentuk marjinalisasi hingga deligitimasi informasi yang diterima masyarakat.
Pembahasan mengenai kesenjangan pengetahuan sejarah di atas mengindikasikan kesesuaian antara aspek strategi yang dirancang oleh pemerintah dan persepsi masyarakat tentang penting atau tidaknya memelihara dokumen sejarah. Fakta yang diutarakan pada artikel di atas menyebutkan bahwa terjadi gap yang cukup jauh antara masyarakat dan sistem ilmu pengetahuan (knowledge management system) yang dijalankan oleh pemerintah.

Warisan Budaya Lisan dan Penafsiran Kesenjangan Ilmu Pengetahuan
Selain dalam bentuk dokumen, artefak, dan benda kepurbakalaan, informasi juga dapat berupa tradisi lisan maupun bentuk eksplorasi manusia berupa musik. Mayoritas masyarakat indonesia mengenal dan mempunyai musik etnik yang sangat banyak jumlah dan jenisnya. Sapto Raharjo (2003) mendeskripsikan kesenjangan informasi dalam hal pemahaman budaya antargenerasi yang berkaitan dengan musik etnik (daerah). Musik adalah salah satu warisan budaya bagi bangsa Indonesia yang sangat penting. Kekayaan warisan musik Indonesia sangat banyak. Namun, belum semuanya didokumentasikan dengan baik, sehingga masih banyak warisan musik yang luput dari perhatian. Selain itu, belum adanya lembaga yang menggawangi dan menjadi pusat dokumentasi musik etnik, merupakan hambatan dalam menumbuhkan kesadaran akan pentingnya dokumentasi musik warisan budaya ini.
Raharjo memberikan stimulus yang menjembatani kesenjangan tersebut melalui siaran radio lokal dengan tafsiran bahwa potensi musik etnik akan menggugah pendengar dari sebuah etnik tertentu. Potensi musik warisan budaya sebenarnya dapat dimaksimalkan dengan menggandeng stasiun radio. Biasanya, setiap daerah memiliki minimal satu stasiun radio. Melalui diskotek (tempat penyimpanan materi musik), radio sebenarnya melakukan proses pendokumentasian, sehingga pendokumentasian tidak hanya bersifat sentralisasi (terpusat). Sayangnya, apakah semua stasiun radio mampu dan mau menjalankan fungsi tersebut?
Setidaknya terdapat beberapa faktor utama yang menyebabkan belum maksimalnya fungsi dokumentasi pada stasiun radio, diantaranya adalah; wawasan, kesadaran, kemampuan SDM, dan ruang siaran (on air) yang belum baik dalam hal dokumentasi musik. Selain itu, radio sebagai sebuah organisasi komersial juga memiliki pandangan bahwa dunia mereka adalah dunia bisnis. Artinya mereka lebih suka melayani kebutuhan musik yang sedangtrend dan hits daripada mengelola dokumentasi warisan musik budaya. Pasalnya, pendengar radio lebih senang dengan sesuatu yang baru, belum ada sistem pengenalan yang baru (masuk dalam struktur kognisi masyarakat), dan anggapan bahwa musik adalah yang sekarang mereka dengar. Pemerintah juga mulai menaruh perhatian dengan menyusun undang-undang penyiaran – yang dalam isinya terdapat aturan tentang radio publik dan radio komunitas.
Realitas yang dikemukakan Raharjo di atas memiliki keselarasan dengan pendapat Webster (2005) seputar masyarakat informasi. Berdasarkan fokus utama permasalahan yang diungkapkan Raharjo di atas, setidaknya dapat dikategorikan sesuai dengan lima perhatian khusus sebagai berikut:
ü  Teknologis : Masyarakat sering berhadapan dengan perubahan teknologi di bidang media informasi, keadaan demikian yang menjadikan kemasan media musik antargenerasi mengalami perbedaan dalam hal kualitas dan kemasan musik itu sendiri. Akibatnya, kesan ‘kuno’ menjadi hal wajar bagi generasi baru dalam memandang musik etnis.
ü  Ekonomi: Seperti dijelaskan Raharjo, perusahaan penyiaran radio juga memiliki kepentingan bisnis dalam menjalankan aktivitasnya. Artinya musik dianggap sebagai komoditas dagang yang mampu menghasilkan keuntungan. Oleh karena itu, peran stasiun radio menjadi terganggu dalam hal dokumentasi musik etnis dan kehadiran musik kontemporer yang bernilai bisnis (keuntungan).
ü  Pekerjaan: Keterkaitan profesionaltas dan SDM yang belum maksimal. Hal ini bisa jadi merupakan titik awal kesenjangan ilmu pengetahuan (konwledge gap) antargenerasi. Alasannya, SDM merupakan kunci penting sebagai service sectordalam penyebaran informasi dan ilmu pengetahuan serta membangun cognitive viewpoint dalam masyarakat. Dari hal ini kemudian akan muncul struktur tenaga kerja/profesional yang menjadi domain penting pada masyarakat informasi.
ü  Spasial (spatial): Pengertian asli dari konsep ini berkenaan dengan jaringan (network) dalam masyarakat. Kesadaran adanya jaringan tersebut, dalam kasus musik etnis, cenderung melibatkan jaringan radio yang tersebar di daerah-daerah. Keberadaan radio-radio daerah inilah yang perlu mendapatkan perhatian pemerintah. Raharjo di atas mengungkapkan bahwa kepedulian pemerintah baru saja muncul dengan penyusunan Undang-Undang Penyiaran.
ü  Kultural: Aspek ini melihat jumlah informasi yang beredar di masyarakat dan sejauh mana informasi tersebut memengaruhi masyarakat itu sendiri. Dalam kasus musik etnis di atas, jelas bahwa pengaruh musik ‘baru’ secara perlahan memudarkan kecintaan musik etnik. Keadaan ini memang sangat mudah dirasakan, namun jarang sekali diukur.

Kesimpulan
Perkembangan masyarakat dalam skala besar memang berawal dari perkembangan struktur kognisi informasi yang dimiliki masyarakat itu sendiri. Peran dan tugas agen perubah – dalam hal ini profesional informasi, lembaga informasi, dan pemerintah – sangat menentukan perubahan tersebut. Perubahan terjadi selalu diikuti dinamika kesenjangan informasi/ilmu pengetahuan. Analisis ketiga artikel di atas cukup memberikan skema kesenjangan ilmu pengetahuan dari berbagai variabel yang ikut berperan di dalamnya. Proses penyebaraninformasi seharusnya dilakukan dengan memperkecil kemungkinan terjadinya misrepresentasi yang berakibat pada degradasi informasi. Hal ini perlu dilakukan guna mereduksi kesenjangan (gap) ilmu pengetahuan yang muncul di tengah-tengah masyarakat. Selain itu, kesadaran informasi di tengah-tengah masyarakat akan terbangun dengan sendirinya jika struktur kognisi informasi yang terbangun tidak jauh berbeda antara kelompok masyarakat satu dengan lainnya.
Secara luas, masyarakat Indonesia sedang berhadapan dengan arus perkembangan – dapat disebut porses pendewasaan – kesadaran informasi. Tentunya perkembangan tersebut tidak terlepas dari munculnya fenomena baru di masyarakat. Oleh karena itu, sinergitas pemerintah dan lembaga informasi harus lebih aktif berperan dan memberikan perhatian khusus kepada kebutuhan informasi masyarakat. Terutama perhatian terhadap pola perkembangan masyarakat dalam hal teknologi, ekonomi, pekerjaan, spasial, dan kultural. Dengan demikian, kesenjangan ilmu pengetahuan antar-masyarakat dapat ditekan sehingga perbedaan ilmu pengetahuan antar-masyarakat tidak terlalu signifikan. Selain itu, pemegang kuasa (pemerintah) juga perlu memperhatikan empat aspek dalam knowledge-gap framework, sehingga strategi, perencanaan dan persepsi terhadap informasi dapat diterima secara baik oleh masyarakat.